Wednesday, May 28, 2008

Deisme.

Indonesia, merupakan sebuah negara beragama yang mengharuskan rakyatnya untuk mempunyai dan mempercayai satu agama untuk dianut. Negara ini hanya mengenal lima jenis agama dan satu agama kepercayaan – walaupun sudah diakui secara resmi, namun agama kepercayaan ini masih mengundang perdebatan – yang resmi digunakan. Agama-agama yang diakui ini terdiri dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu sebagai agama kepercayaan. Walaupun begitu, tanpa diketahui ataupun tersebar luas beberapa warga negara menolak untuk mempercayai kelima agama formal karena berbagai alasan. Beberapa individu ataupun kelompok ini memilih untuk hidup dengan mempercayai agama maupun kepercayaan lain yang tidak resmi dikenal di negara ini tetapi benar menurut akal sehat mereka. Diantara mereka ada yang memilih untuk tidak memikirkan masalah kepercayaan ini atau biasa disebut Agnostik, ada juga yang percaya bahwa tuhan itu tidak ada atau sudah mati yang biasa disebut sebagai Atheist, ada beberapa yang lebih memilih untuk percaya kepada agama nenek moyangnya, dan bermacam-macam jenis kepercayaan lainnya baik yang mistik maupun yang berdasarkan akal.

Diantara banyak sekali kepercayaan ini, ada satu kepercayaan berdasarkan akal sehat yang berbeda dari kepercayaan-kepercayaan lain. Jika kebanyakan kepercayaan ini memfokuskan pemikirannya pada konsep tuhan, maka Deisme memfokuskan pemikirannya tidak hanya kepada konsep tuhan tetapi juga menyentuh konsep agama dengan mendasarkan pemikiran mengenai akal sehat, alam semesta dan eksistensi manusia di dunia. Dengan begitu, seorang Deist – sebutan untuk orang yang menganut kepercayaan ini – akan menggunakan akal sehat dan hukum alam serta pengalamannya di dunia untuk mengintepretasikan konsep tuhan dan agama yang akan dipercayainya.

Walaupun Deisme ini merupakan kepercayaan yang bersifat religius, mereka tidak membentuk suatu komunitas resmi yang mempunyai wewenang terhadap kepercayaan ini seperti sekte-sekte agama lain yang kebanyakan berdasarkan pada hal mistis. Para Deist ini biasanya mempunyai interpretasi yang berbeda-beda walaupun masih dalam kerangka Deisme, hal ini disebabkan oleh akal yang menjadi dasar dari pemikiran ini. Dengan demikian, suatu komunitas yang mengatur tidak diperlukan oleh para Deist ini karena secara singkat dapat dikatakan bahwa mereka adalah nabi bagi diri mereka sendiri.

A. Pengertian dan Pemikiran Deisme

Secara bahasa, Deisme berasal dari kata latin Deus yang berarti tuhan[1]. Kata ini dipakai untuk membedakan ajaran ini dengan ajaran lain yang memakai kata Theos yang juga berarti tuhan[2]. Perbedaan antara Theisme dan Deisme ini terletak pada pandangannya mengenai tuhan dan agama. Deisme adalah kepercayaan religius yang mempercayai tuhan berdasarkan pada fondasi akal, hukum alam dan pengalaman pribadi dengan memfokuskan pemikirannya pada kebebasan berpikir daripada melalui kitab suci ataupun wahyu-wahyu yang dikatakan datang dari utusan tuhan[3]. Dengan begitu secara singkat seorang Deist akan mengandalkan akal sehatnya untuk mempercayai tuhan daripada mempercayai suatu agama yang mengatakan bahwa tuhan itu ada.

Perbedaan lain dengan kepercayaan maupun pemikiran lain yang menonjol adalah kepercayaan bahwa setelah tuhan selesai menciptakan dunia ini dan memberikan hukum alam sebagai nyawa dari dunia, tuhan beristirahat dan hanya melihat dari jauh bagaimana dunia dan manusia di dalamnya hidup. Hal ini sudah tentu sangat bertentangan dengan kebanyakan kepercayaan formal yang dikenal seperti Islam dan Kristen yang mempercayai bahwa tuhan sudah mengatur segala sesuatu yang akan terjadi di dunia ini seperti takdir. Dengan mempercayai hal ini, seorang Deist akan hidup secara sejati dengan memaksimalkan potensinya sebagai manusia tanpa mengandalkan tuhan ataupun hal mistik lainnya untuk membantunya.

Selain menggunakan kepercayaan untuk hal-hal religius dan spiritual seperti hubungan dengan tuhan, Deist juga menggunakan kepercayaannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menggunakan akal mereka untuk kehidupan personal, sosial, maupun untuk mengintepretasikan moral, mereka akan lebih mengerti apa makna sebenarnya dari hidup dibandingkan dengan mereka hidup dengan mengandalkan suatu sistem kepercayaan yang terpadu tanpa menggunakan secara maksimal potensi akal mereka. Karena hal ini pula, Deisme sangat menjunjung tinggi asas kebebasan berpikir dan kebebasan untuk berpendapat yang dengan begitu membuat para Deist menjadi orang yang sangat terbuka dan menghormati perbedaan, walaupun perbedaan itu menyangkut interpretasi mengenai kepercayaan itu sendiri yang bagi beberapa agama sangat tabu dan terlarang.

Karena hal inilah, sangat memungkinkan satu Deist akan berbeda dari Deist yang lainnya yang disebabkan oleh perbedaan interpretasi. Walaupun begitu, garis besar dari Deisme, seperti penolakan terhadap agama yang berdasarkan pada teks-teks suci dan wahyu-wahyu, dan anggapan bahwa akal adalah instrumen penting untuk mencapai kebenaran religius tetap diterima secara luas sebagai dasar dari ajaran Deisme itu sendiri. Contoh dari beberapa perbedaan diantara para penganut Deisme ini adalah dalam hal berdoa. Sebagian besar Diest menolak suatu bentuk doa dikarenakan mereka beranggapan bahwa tuhan tidak akan membantu mereka walaupun mereka berdoa sekeras apapun dan doa bukanlah jalan untuk berhubungan dengan tuhan, berdoa hanyalah suatu bentuk pelarian diri karena tidak bisa mencapai sesuatu dengan usaha[4]. Walaupun begitu, sebagian kecil lainnya tetap melakukan aktivitas berdoa ini namun bukan karena mereka ingin meminta bantuan ataupun meminta hal lainnya, mereka beranggapan bahwa berdoa adalah suatu bentuk meditasi untuk membersihkan pikiran dan untuk berterimakasih terhadap tuhan atas kehidupan yang sudah diberikan dan bukan untuk meminta sesuatu ataupun meminta bantuan tuhan dalam suatu hal seperti yang umum dilakukan oleh pemeluk agama monotheis lain.

Jika kebanyakan agama sudah menentukan tujuan hidup masing-masing pemeluknya sejak dia lahir maka Deisme menolak pandangan seperti itu. Secara umum, Deist percaya bahwa tuhan tidak menentukan tujuan hidup yang pasti bagi para ciptaannya, tuhan membiarkan manusia untuk meccari sendiri tujuan dan posisinya di dunia yang dengan begitu manusia akan dapat hidup semaksimal mungkin di dunia ini tanpa merasa bahwa tujuan hidup dan akhir jalan hidup mereka sudah ditentukan dan membuat mereka tereduksi kemanusiaannya[5].

Seperti yang sudah dibahas bahwa Desime mempunyai beberapa garis besar yang dianut oleh para Deist. Secara lebih jauh, garis besar dari Deisme ini terbagi menjadi dua. Yaitu aspek kritis dan aspek konstruktif[6].

1. Aspek Kritis

· Penolakan terhadap agama yang menggunakan teks suci sebagai sumber ajarannya.

· Penolakan terhadap keajaiban seperti wahyu-wahyu dan hal-hal mistis.

· Penolakan terhadap konsep tujuan hidup yang diatur.

2. Aspek Konstruktif

· Tuhan itu ada dan dia menciptakan alam semesta

· Tuhan menginginkan manusia untuk mempunyai moral

B. Sejarah Deisme[7]

Pemikiran deistik ini sudah mulai berkembang sejak zaman yunani kuno dimana seorang pemikir yunani bernama Heraclitus (540-480 SM) yang beranggapan bahwa adanya akal universal yang menuntun segala sesuatu yang terjadi di alam dan ada satu entitas yang menjadi sumber dari segala sesuatu, dinamakannya tuhan atau logos yang berarti akal. Disini terlihat bahwa Heraclitus menganggap bahwa akallah yang akan menuntun kita dalam alam. Walaupun pemikiran Heraclitus sama sekali tidak meperlihatkan konsep Deisme namun akal yang menjadi dasar dari Deisme sudah terpikirkan olehnya.

Deisme seperti yang telah dijelaskan, mulai muncul pada zaman pencerahan abad ke-17 di Inggris yang dimaksudkan untuk menyebut suatu gerakan yang menginginkan agama menjadi lebih alamiah atau yang disebut sebagai agama alamiah. Tidak diragukan lagi, agama alamiah yang mendasarkan kepercayaannya pada tuhan melalui alam adalah nenek moyang dari Deisme. Agama alamiah ini muncul setelah tradisi Humanisme berkembang pada zaman Renaissance dan membukakan pintu kepada permulaan kritik terhadap teks suci yang tadinya sangatlah sakral.

Selain tradisi Humanisme, kelahiran Deisme sebagai satu pemikiran tak lepas dari penemuan kembali keberagaman di eropa setelah gereja menguasai dan mendominasi peradaban di eropa selama berabad-abad. Keberagaman ini memunculkan suatu perasaan dan pandangan bahwa Kristen bukanlah satu-satunya agama yang eksis dan bukan pula suatu agama yang paling benar adanya. Karena pandangan radikal inilah pemikiran-pemikiran lain yang lebih radikal dapat muncul dan berkembang luas setelah zaman Renaisans.

Setelah beberapa pemikiran radikal bermunculan di tanah eropa, banyak yang menginginkan untuk terjadi adanya perubahan yang mendasar pada kebudayaan eropa yang masih dikuasai gereja. Karena itulah setelah renaisans terjadi, banyak peperangan terjadi di eropa entah untuk mempertahankan suatu status-quo atau untuk membebaskan diri dari kekangan pemikiran lama. Dalam banyak peperangan ini, kekerasan terjadi terhadap para pemeluk sekte-sekte agama dan mereka memutuskan untuk mencari sebuah agama yang berdasarkan pada alam yang dapat ditangkap secara universal karena dianggap sudah ditulis dalam buku alam atau ditulis oleh tuhan didalam pikiran manusia yang terdalam. Dengan interpretasi yang universal maka setiap pemeluk agama akan bebas menentukan pemikiran mereka tentang tuhan dan dunia dan dianggap akan memberikan perdamaian.

Setelah zaman Renaisans berlalu, muncul gerakan baru yang bernama aufklarung pada abad ke-18. Nama tersebut duberikan karena manusia mencari cahaya baru dalam rasionya pada zaman ini. Di zaman ini, manusia mulai menggunakan rasionya untuk mencari sebuah pebcerahan bagi pemikirannya, yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai zaman dimana manusia keluar dari keadaan tidak akil balig menjadi seorang manusia dewasa. Pemikiran yang berkembang pada zaman ini berpusat Inggris karena suasana politik yang mengizinkan. Salah satu gejala Aufklarung di Inggris adalah pemikiran yang dikenal dengan nama Deisme[8].

Deisme ini muncul di Inggris dengan mudah karena waktu penjelasan mekanistis tentang dunia sangat dipuja-puja. Anggapan yang timbul bahwa dunia seluruhnya diciptakan menurut hukum-hukum mekanistis yang ketat, namun sesudah diciptakan mesih-dunia berjalan dengan sendirinya. Dengan itu mereka mengingkari segala hal yang adikodrati, seperti mukjizat dan wahyu. Isi ajaran Kristianisme bersifat kodrati melulu, akibatnya kristianisme merupakan suatu agama irasional yang tidak membawa sesuatu pun yang baru. Buku-buku yang terbit pada zaman ini di Inggris sangat menggambarkan suasana pemikiran yang ada. John Toland mengarang buku yang berjudul Cristianity not Mysterious (1696) Matthews Tindal menerbitkan Cristianity as Old as Creation (1730)[9].

Selain perkembangan yang pesat dalam bidang pemikiran, bidang teknologi eropa juga ikut mengalami perkembangan yang signifikan. Dalam beberapa kasus bahkan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan mmpunyai peran yang signifikan dalam menghancurkan domonasi dogma-dogma gereja. Hasil kerja Copernicus, Galileo Galilei yang membuktikan bahwa bumi itu bulat dan bukanlah pusat dari alam semesta membuat gereja kehilangan kekuasaan atas ilmu pengetahuan. Penemuan hukum gravitasi oleh Isaac Newton yang membuktikan bahwa alam semesta digerakkan oleh hukum alam menjadi dasar dari berkembangnya pemikiran Deisme. Penemuan Newton tersebut menjelaskan bahwa tuhan menciptakan alam semesta, menggerkkannya dengan hukum alam dan pension dari pekerjaannya untuk melihat bagaimana manusia hidup. Karena penemuan ini pula kepercayaan terhadap keajaiban dan teks-teks suci mngenai alam sedikit demi sedikit mulai luntur. Dengan begitu, dalam abad rasionalitas inilah pemikiran Deisme lahir.

C. Deisme Dewasa Ini

Dalam perjalanannya menuju abad ke-21. Deisme telah banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran modern yang membentuk dunia kita seperti sekarang ini. Sebagai contoh, tanpa Deisme, Sekularisme di Amerika tidak akan muncul. Bahkan beberapa sumber mengatakan bahwa, Declaration of Indepence sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran Deisme ini. Hal itu terjadi disebabkan adanya kemungkinan bahwa beberapa founding fathers Amerika adalah seorang Deist. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat sebagian besar orang Amerika adalah keturunan Inggris yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Deisme ketika itu[10].

Walaupun istilah Deisme ini tidak banyak dikenal orang - yang disebabkan oleh tidak adanya komunitas besar yang menaungi perkembangan kepercayaan ini[11] – namun tanpa disadari pemikiran dasar dari kepercayaan ini yaitu kepercayaan berbasis akal sangatlah populer dan dianut di abad-21 ini yang dapat dikatakan sudah memasuki zaman post-modern. Banyak orang yang walaupun mempunyai satu agama resmi dia tetap meragukan ajaran dari agama tersebut dan tanpa disadari dia sudah mulai menjadi agnostik dan beberapa menjadi atheist serta deist jika mau mencoba untuk memikirkannya.

Hal ini mungkin terjadi karena perkembangan kehidupan beragama yang sudah mulai kehilangan arah dan cita-cita awalnya. Ketika seseorang terombang-ambing di antara satu kepercayaan dengan kepercayaan lainnya maka yang akan terjadi adalah kebingungan yang mengarah pada pengrusakan diri ataupun alienasi diri. Sebagai contoh seseorang yang beragama islam namun tidak sanggup menunaikan ajaran agamanya dan termakan oleh pengaruh globalisasi namun tidak mengerti bagaimana mengendalikannya karena sepanjang hidupnya dia tidak pernah mengendalikan dirinya maka dia akan menjadi korban dari dilema pemikiran ini. Orang itu tanpa sadar akan terus menunaikan ajaran agamanya dan bersikap seolah-olah dia takut kepada tuhan namun pengaruh globalisasi dan budaya terus menerus menjauhkannya dari apa yang dipercayainya sebagai tuhan dan secara otomatis, dia telah teralienasi dari dirinya sendiri.

Kehidupan beragama dewasa ini juga mempengaruhi ketidaksadaran spiritual ini. Bentuk terorisme ataupun premanisme yang terjadi dengan membawa nama satu agama membentuk suatu opini publik secara tidak sadar akan kekecewaan terhadap agamanya. Karena itu, secara tidak sadar pula individu-individu beragama ini sedikit demi sedikit meninggalkan identitasnya sebagai makhluk yang beragama dan terombang-ambing diantara kebimbangan tidak tahu mana yang benar mana yang salah dan mana yang harus diikuti dan tidak tahu harus berbuat apa karena sudah terbiasa oleh dogma-dogma yang menyejukkan dari agamanya.

Dengan begitu, Deisme dewasa ini tetap berkembang sebagai kepercayaan personal yang tidak memerlukan suatu komunitas untuk menaungi perkembangannya dan membuat suatu peraturan baku mengenai agama. Bahkan tanpa disadari pemikiran ini sudah masuk dalam banyak aspek kehidupan manusia modern walaupun penolakan yang terjadi akibat kebingungan membuat Deisme masih terlihat seperti ajaran sesat bagi beberapa agama.


Daftar Pustaka

Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta:Penerbit Kanisius,1975.

Gaarder, Jostein. Dunia Sophie. Bandung:Penerbit Mizan,1996.

Wikipedia, Deism. http://en.wikipedia.org/wiki/Deism, 23 Mei 2007 Pukul 19.00 – 22.00

Hardwick, J. Deism Defined. http://moderndeism.com/html/deism_defined.html, 23 Mei 2007, Pukul 20.15

World Union of Deist. Deism. http://www.deism.com, 23 Mei 2007, Pukul 19.03


[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Deism Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 18.23

[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Deism#Features_of_Deism Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 18.35

[3] http://www.deism.com/deism_defined.htm Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 19.03

[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Deism#Opinions_about_prayer Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 19.43

[5] http://moderndeism.com/html/deism_defined.html Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 20.15

[6] http://en.wikipedia.org/wiki/Deism#Critical_and_constructive_Deism Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 21.54

[7] http://en.wikipedia.org/wiki/Deism#The_history_of_Deism Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 21.24

[8] Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. (Yogyakarta, Penerbit Kanisius:1975) Hal. 53

[9] Ibid, Hal. 54

[10] http://en.wikipedia.org/wiki/Deism#Deism_in_America Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 19.17

[11] Pada tahun 1993, seorang bernama Robert. L. Johnson mendirikan satu perkumpulan deist yang bernama World Union of Deist yang berperan sebagai penghubung semua deist yang ada di dunia. Perkumpulan ini mempunyai semoboyan ”god gave us reason, not religion” yang berarti “tuhan memberikan kita akal, bukan agama”

Pandangan Kesetaraan Jender Nurcholish Madjid*

Menurut Siti Musdah Mulia** sangat sulit untuk menemukan tulisan Caknur yang mnyebutkan secara eksplisit soal kesetaraan jender. Namun dari berbagai ide dan pandangannya, nilai-nilai kesetaraan jender begitu terbaca seperti dalam pandangan Cak Nur yang meliputi persamaan manusia, institusi perkawinan dan nilai-nilai yang dianut dalam jilbab dan hijab. Dari ketiga gagasan Cak Nur ini sudah terlihat bahwa kesetaraan jender adalah salah satu dari bahan pemikiran Cak Nur.

Gagasan Mengenai Persamaan Manusia

Gagasan kesetaraan jender Cak Nur mula-mula ditunjukkan melalui ide persamaan antar sesama manusia yang disebut Cak Nur bersumber melalui tauhid dan memiliki efek pembebasan diri (self-liberation) serta pembebasan sosial. Berdasarkan prinsip ini, maka tauhid menghendaki sistem kemasyarakatan yang demokratis berdasarkan musyawarah, dan tidak membenarkan adanya absololutisme di antara sesama manusia.

Cak Nur sangat konsisten pada gagasannya tentang al-musawah atau persamaan di antara manusia, terutama dalam konteks perwujudan demokrasi dan penegakan masyarakat madani. Menurutnya, semua manusia tanpa memandang jenis kelamin, kebangsaan atau kesukuannya dan lain-lain, adalah sama dalam harkat dan martabat. Melalui pandangan ini, sudah jelas terlihat bahwa pandangan Cak Nur mengenai persamaan manusia secara langsung akan mengarah juga kedalam gagasan persamaan jender sebab gagasan persamaan manusia akan berarti bahwa semua manusia adalah sama dan tidak ada perbedaan yang berarti dalam pria dan wanita. Lebih dalam lagi Cak nur mengatakan bahwa satu-satunya aspek yang membedakan manusia dengan manusia lainnya adalah tingkat ketakwaannya. Siti Musdah Mulia menambahkannya dengan menyimpulkan bahwa jika Cak Nur berbicara mengenai penegakan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pastilah harus dimaknai bahwa tidak ada demokrasi tanpa keikutsertaan perempuan, karena masyarakat selalu terdiri dari lelaki dan perempuan.

Pandangan Tentang Institusi Perkawinan

Disini Cak Jur disebut tertarik mangulas soal insitusi perkawinan disebabkan oleh menurutnya bicara soal perkawinan berate bicara soal hukum keluarga. Pandangan Cak Nur yang paling terkenal dalam kaitannya dengan institusi perkawinan adalah kesimpulannya yang mengatakan bahwa amat dimungkinkan perempuan muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara kebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.

Hal ini, menurut Cak Nur merujuk pada semangat yang dibawa Al-Quran sendiri yaitu pluralitas agama yang merupakan sunnatullah dan bahwa tujuan hakiki pernikahan adalah untuk merekatkan tali kasih dan tali sayang yang oleh karena itu di tengah rentannya hubungan antar penganut agama, pernikahan berbeda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antar masing-masing pemeluk agama. Selain dari alasan ini, Cak Nur juga mengemukakan bahwa sementara tidak ada teks suci yang memperbolehkan pernikahan antar agama tidak ada juga teks suci yang melarang pernikahan berbeda agama. Terlihat dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh Cak Nur pengaruh pandangannya dalam persamaan manusia yang secara langsung terkait dengan persamaan jender.

Pandangan Tentang Jilbab dan Hijab

Meengenai permasalah pemakaian Jilbab pada wanita, Cak Nur sampai pada kesimpulan bahwa jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya ketimbang ajaran agama. Selengkapnya beliau menuliskan, “Jika jiibab memang ditetapkan untuk perlindungan, atau lebih jauh lagi untuk meningkatkan prestise kaum perempuan yang berpengaruh, atau kaum perempuan dari kalangan atas atau kelompok elit, maka dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab dan hijab merupakan sesuatu yang lebih bersifat dan bernuansa budaya dibandingkan bersifat religi”.

Dengan pandangan itu Cak Nur sampai pada kesimpulan bahwa jilbab dan hijab bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan Islam hanya sebagai perlindungan terhadap perempuan. Jika perlindungan itu tidak dibutuhkan lagi tentu perempuan dapat memilih secara cerdas dan bebas apakah ia masih mau menggunakan jilbab dan hijab atau tidak. Cak Nur juga menambahkan bahwa dalam realitas sosiologis di masyarakat, jilbab tidak menyimbolkan apa-apa; tidak menjadi jaminan kesalehan dan ketakwaan, tidak ada jeminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan salehah sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah. Masih banyak perempuan yang tidak memakai jilbab jauh lebih baik kualitas kemanusiaannya dibandingkan dengan perempuan pemakai jilbab karena jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang yang sayangnya menurut pendapat umum jilbab adalah bukti keshalehan.

Kesimpulan

Dari ketiga gagasan dan pemikiran Cak Nur tersebut terlihat bahwa Cak Nur sangatlah memperhatikan kesetaraan jender sehingga oleh Siti Musdah Mulia, Cak Nur disebut sebagai seorang yang mempunyai sensivitas jender yang kuat. Namun sepertinya sebutan itu terlalu sempit bila diberikan kepada Cak Nur, sebab latar belakang dari ketiga gagasan dan pemikiran Cak Nur tersebut terlalu luas jika hanya dikaitkan pada sensivitas jender. Lebih tepat apabila Cak Nur disebut mempunyai sensivitas luar biasa terhadap kemanusiaan dan otomatis mendukung persamaan manusia seperti yang sudah disebut di halaman pertama dari tulisan ini. Dengan begitu, sensivitas terhadap jender yang disebut oleh Siti Musdah Mulia hanyalah sebuah riak kecil didalam pemikiran kemanusiaan Cak Nur yang luas.

*
Satu bab dalam buku ”Menembus Batas Tradisi: Menuju Masa Depan yang Membebaskan” yang disampaikan oleh Siti Musdah Mulia pada Simposium Pemikiran Cak Nur dalam rangka Dies Natalis Universitas Paramadina ke-VII, tanggal 17-19 Maret 2005 di Jakarta.
**
Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)

.aziS
ini salah satu paper tugas gua yang gua pikir bagus juga kalo ada yang baca. ehehehe

Toilet Pria Gedung Sembilan Lantai Satu Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI

Banyak sekali hal sepele di dunia ini yang tidak begitu dianggap penting oleh banyak orang namun ternyata pada kenyataannya hal-hal sepele itulah yang banyak berpengaruh kepada kehidupan kita. Tempat umum yang sudah pasti tidak asing lagi bagi kita namun keberadaannya selalu saja dikonotasikan dengan hal-hal negatif seperti bau, jorok, dan berbagai sebutan negatif inilah yang menjadi contoh nyata bagaimana suatu hal yang sepele di dunia bisa menjadi penting bagi kehidupan kita. Toilet, begitu banyak orang menyebut tempat umum ini. Namun, toilet pria di gedung sembilan yang terdapat pada lantai satu menjadi salah satu toilet yang paling menonjol dibanding toilet-toilet lainnya di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya ini.

Mengapa toilet di gedung sembilan ini begitu menonjol? Mungkin jawabannya ada pada faktor letak yang strategis dari toilet ini. Selain gedung sembilan memang dikenal sebagai pusat kegiatan mahasiswa FIB sehingga banyak mahasiswa yang berkeliaran disana, gedung sembilan juga merupakan pintu masuk FIB bagi para mahasiswa yang membawa mobil sehingga otomatis toilet pertama yang mereka jumpai adalah toilet gedung sembilan yang terletak di lantai satu. Hal lain yang juga salah satu ciri khas tempat ini adalah banyaknya mahasiswa pria yang merias diri di tempat ini. Selain membenarkan tata rambut dengan gel-gel khusus, banyak pula yang mencuci mukanya di toilet ini. Suatu pemandangan yang jarang terjadi di toilet gedung manapun dan lantai manapun. Ruangan yang berukuran sekitar 5x3 meter dan mempunyai 3 bilik kloset ini menjadi favorit pria untuk merias diri dikarenakan cukup besarnya ruangan, lampu yang menyala terang benderang serta kaca yang besarnya lebih dari cukup. Walaupun begitu, toilet ini cukup unik karena tidak seperti toilet biasanya yang mempunyai kloset berdiri, toilet ini tidak mempunyainya. Selain dari pada itu, barang-barang yang biasa tersedia di toilet seperti ember dan ciduk dapat ditemukan.

Toilet pria di gedung sembilan lantai satu ini hanyalah contoh dari banyaknya toilet di lingkungan FIB, namun karena beberapa faktor seperti letak, bentuk ruangan dan berbagai hal pendukung lainnyan menjadikan toilet ini banyak digunakan untuk aktifitas selain dari aktifitas pokok yang biasa dilakukan di toilet yang secara tidak sadar telah membantu kita untuk belajar dengan tenang tanpa harus kuatir menahan-nahan untuk pergi ke belakang.

Singing in The Basement : Underground Music Movement as A Sub-Multiculturalism Society

Multi-culture defined as a transformation of one culture into another through a blending process of two or more culture, are the basis of our modern society. This modern society has created a new culture that blends all our differences in one main purpose to unite us through one final goal. A goal that can be different for each society, it can be a massive goal such as to become a nation or a less big goal like to unite through the same taste or vision in art, sport and even lifestyle.

For example, the underground music movement is a community that primary unite through their same taste and vision for music. This community emerges from the midst of a multicultural society that already has no more room for expression because they already have their form of music expression in mainstream music culture. Yes, multicultural society has somewhat produce a new culture to unite everyone in their multicultural society. And the underground music movement release themselves from the mainstream vision to build and live their own vision of music. So it can be concluded that a sub-multi-culture society can rise from the main multi-culture society that said can accommodate all culture.

This phenomenon happen because in a multicultural society where almost every person is the same as the other, some rebel needs an identity to define them in the mass produced culture of multiculturalism. And this is where the underground music movement gives their “followers” an identity, an ideology, and even a life. And of course it is the youth – or at least the soul of the youth – that leads this movement of freedom.

.aziS