Wednesday, May 28, 2008

Deisme.

Indonesia, merupakan sebuah negara beragama yang mengharuskan rakyatnya untuk mempunyai dan mempercayai satu agama untuk dianut. Negara ini hanya mengenal lima jenis agama dan satu agama kepercayaan – walaupun sudah diakui secara resmi, namun agama kepercayaan ini masih mengundang perdebatan – yang resmi digunakan. Agama-agama yang diakui ini terdiri dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu sebagai agama kepercayaan. Walaupun begitu, tanpa diketahui ataupun tersebar luas beberapa warga negara menolak untuk mempercayai kelima agama formal karena berbagai alasan. Beberapa individu ataupun kelompok ini memilih untuk hidup dengan mempercayai agama maupun kepercayaan lain yang tidak resmi dikenal di negara ini tetapi benar menurut akal sehat mereka. Diantara mereka ada yang memilih untuk tidak memikirkan masalah kepercayaan ini atau biasa disebut Agnostik, ada juga yang percaya bahwa tuhan itu tidak ada atau sudah mati yang biasa disebut sebagai Atheist, ada beberapa yang lebih memilih untuk percaya kepada agama nenek moyangnya, dan bermacam-macam jenis kepercayaan lainnya baik yang mistik maupun yang berdasarkan akal.

Diantara banyak sekali kepercayaan ini, ada satu kepercayaan berdasarkan akal sehat yang berbeda dari kepercayaan-kepercayaan lain. Jika kebanyakan kepercayaan ini memfokuskan pemikirannya pada konsep tuhan, maka Deisme memfokuskan pemikirannya tidak hanya kepada konsep tuhan tetapi juga menyentuh konsep agama dengan mendasarkan pemikiran mengenai akal sehat, alam semesta dan eksistensi manusia di dunia. Dengan begitu, seorang Deist – sebutan untuk orang yang menganut kepercayaan ini – akan menggunakan akal sehat dan hukum alam serta pengalamannya di dunia untuk mengintepretasikan konsep tuhan dan agama yang akan dipercayainya.

Walaupun Deisme ini merupakan kepercayaan yang bersifat religius, mereka tidak membentuk suatu komunitas resmi yang mempunyai wewenang terhadap kepercayaan ini seperti sekte-sekte agama lain yang kebanyakan berdasarkan pada hal mistis. Para Deist ini biasanya mempunyai interpretasi yang berbeda-beda walaupun masih dalam kerangka Deisme, hal ini disebabkan oleh akal yang menjadi dasar dari pemikiran ini. Dengan demikian, suatu komunitas yang mengatur tidak diperlukan oleh para Deist ini karena secara singkat dapat dikatakan bahwa mereka adalah nabi bagi diri mereka sendiri.

A. Pengertian dan Pemikiran Deisme

Secara bahasa, Deisme berasal dari kata latin Deus yang berarti tuhan[1]. Kata ini dipakai untuk membedakan ajaran ini dengan ajaran lain yang memakai kata Theos yang juga berarti tuhan[2]. Perbedaan antara Theisme dan Deisme ini terletak pada pandangannya mengenai tuhan dan agama. Deisme adalah kepercayaan religius yang mempercayai tuhan berdasarkan pada fondasi akal, hukum alam dan pengalaman pribadi dengan memfokuskan pemikirannya pada kebebasan berpikir daripada melalui kitab suci ataupun wahyu-wahyu yang dikatakan datang dari utusan tuhan[3]. Dengan begitu secara singkat seorang Deist akan mengandalkan akal sehatnya untuk mempercayai tuhan daripada mempercayai suatu agama yang mengatakan bahwa tuhan itu ada.

Perbedaan lain dengan kepercayaan maupun pemikiran lain yang menonjol adalah kepercayaan bahwa setelah tuhan selesai menciptakan dunia ini dan memberikan hukum alam sebagai nyawa dari dunia, tuhan beristirahat dan hanya melihat dari jauh bagaimana dunia dan manusia di dalamnya hidup. Hal ini sudah tentu sangat bertentangan dengan kebanyakan kepercayaan formal yang dikenal seperti Islam dan Kristen yang mempercayai bahwa tuhan sudah mengatur segala sesuatu yang akan terjadi di dunia ini seperti takdir. Dengan mempercayai hal ini, seorang Deist akan hidup secara sejati dengan memaksimalkan potensinya sebagai manusia tanpa mengandalkan tuhan ataupun hal mistik lainnya untuk membantunya.

Selain menggunakan kepercayaan untuk hal-hal religius dan spiritual seperti hubungan dengan tuhan, Deist juga menggunakan kepercayaannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menggunakan akal mereka untuk kehidupan personal, sosial, maupun untuk mengintepretasikan moral, mereka akan lebih mengerti apa makna sebenarnya dari hidup dibandingkan dengan mereka hidup dengan mengandalkan suatu sistem kepercayaan yang terpadu tanpa menggunakan secara maksimal potensi akal mereka. Karena hal ini pula, Deisme sangat menjunjung tinggi asas kebebasan berpikir dan kebebasan untuk berpendapat yang dengan begitu membuat para Deist menjadi orang yang sangat terbuka dan menghormati perbedaan, walaupun perbedaan itu menyangkut interpretasi mengenai kepercayaan itu sendiri yang bagi beberapa agama sangat tabu dan terlarang.

Karena hal inilah, sangat memungkinkan satu Deist akan berbeda dari Deist yang lainnya yang disebabkan oleh perbedaan interpretasi. Walaupun begitu, garis besar dari Deisme, seperti penolakan terhadap agama yang berdasarkan pada teks-teks suci dan wahyu-wahyu, dan anggapan bahwa akal adalah instrumen penting untuk mencapai kebenaran religius tetap diterima secara luas sebagai dasar dari ajaran Deisme itu sendiri. Contoh dari beberapa perbedaan diantara para penganut Deisme ini adalah dalam hal berdoa. Sebagian besar Diest menolak suatu bentuk doa dikarenakan mereka beranggapan bahwa tuhan tidak akan membantu mereka walaupun mereka berdoa sekeras apapun dan doa bukanlah jalan untuk berhubungan dengan tuhan, berdoa hanyalah suatu bentuk pelarian diri karena tidak bisa mencapai sesuatu dengan usaha[4]. Walaupun begitu, sebagian kecil lainnya tetap melakukan aktivitas berdoa ini namun bukan karena mereka ingin meminta bantuan ataupun meminta hal lainnya, mereka beranggapan bahwa berdoa adalah suatu bentuk meditasi untuk membersihkan pikiran dan untuk berterimakasih terhadap tuhan atas kehidupan yang sudah diberikan dan bukan untuk meminta sesuatu ataupun meminta bantuan tuhan dalam suatu hal seperti yang umum dilakukan oleh pemeluk agama monotheis lain.

Jika kebanyakan agama sudah menentukan tujuan hidup masing-masing pemeluknya sejak dia lahir maka Deisme menolak pandangan seperti itu. Secara umum, Deist percaya bahwa tuhan tidak menentukan tujuan hidup yang pasti bagi para ciptaannya, tuhan membiarkan manusia untuk meccari sendiri tujuan dan posisinya di dunia yang dengan begitu manusia akan dapat hidup semaksimal mungkin di dunia ini tanpa merasa bahwa tujuan hidup dan akhir jalan hidup mereka sudah ditentukan dan membuat mereka tereduksi kemanusiaannya[5].

Seperti yang sudah dibahas bahwa Desime mempunyai beberapa garis besar yang dianut oleh para Deist. Secara lebih jauh, garis besar dari Deisme ini terbagi menjadi dua. Yaitu aspek kritis dan aspek konstruktif[6].

1. Aspek Kritis

· Penolakan terhadap agama yang menggunakan teks suci sebagai sumber ajarannya.

· Penolakan terhadap keajaiban seperti wahyu-wahyu dan hal-hal mistis.

· Penolakan terhadap konsep tujuan hidup yang diatur.

2. Aspek Konstruktif

· Tuhan itu ada dan dia menciptakan alam semesta

· Tuhan menginginkan manusia untuk mempunyai moral

B. Sejarah Deisme[7]

Pemikiran deistik ini sudah mulai berkembang sejak zaman yunani kuno dimana seorang pemikir yunani bernama Heraclitus (540-480 SM) yang beranggapan bahwa adanya akal universal yang menuntun segala sesuatu yang terjadi di alam dan ada satu entitas yang menjadi sumber dari segala sesuatu, dinamakannya tuhan atau logos yang berarti akal. Disini terlihat bahwa Heraclitus menganggap bahwa akallah yang akan menuntun kita dalam alam. Walaupun pemikiran Heraclitus sama sekali tidak meperlihatkan konsep Deisme namun akal yang menjadi dasar dari Deisme sudah terpikirkan olehnya.

Deisme seperti yang telah dijelaskan, mulai muncul pada zaman pencerahan abad ke-17 di Inggris yang dimaksudkan untuk menyebut suatu gerakan yang menginginkan agama menjadi lebih alamiah atau yang disebut sebagai agama alamiah. Tidak diragukan lagi, agama alamiah yang mendasarkan kepercayaannya pada tuhan melalui alam adalah nenek moyang dari Deisme. Agama alamiah ini muncul setelah tradisi Humanisme berkembang pada zaman Renaissance dan membukakan pintu kepada permulaan kritik terhadap teks suci yang tadinya sangatlah sakral.

Selain tradisi Humanisme, kelahiran Deisme sebagai satu pemikiran tak lepas dari penemuan kembali keberagaman di eropa setelah gereja menguasai dan mendominasi peradaban di eropa selama berabad-abad. Keberagaman ini memunculkan suatu perasaan dan pandangan bahwa Kristen bukanlah satu-satunya agama yang eksis dan bukan pula suatu agama yang paling benar adanya. Karena pandangan radikal inilah pemikiran-pemikiran lain yang lebih radikal dapat muncul dan berkembang luas setelah zaman Renaisans.

Setelah beberapa pemikiran radikal bermunculan di tanah eropa, banyak yang menginginkan untuk terjadi adanya perubahan yang mendasar pada kebudayaan eropa yang masih dikuasai gereja. Karena itulah setelah renaisans terjadi, banyak peperangan terjadi di eropa entah untuk mempertahankan suatu status-quo atau untuk membebaskan diri dari kekangan pemikiran lama. Dalam banyak peperangan ini, kekerasan terjadi terhadap para pemeluk sekte-sekte agama dan mereka memutuskan untuk mencari sebuah agama yang berdasarkan pada alam yang dapat ditangkap secara universal karena dianggap sudah ditulis dalam buku alam atau ditulis oleh tuhan didalam pikiran manusia yang terdalam. Dengan interpretasi yang universal maka setiap pemeluk agama akan bebas menentukan pemikiran mereka tentang tuhan dan dunia dan dianggap akan memberikan perdamaian.

Setelah zaman Renaisans berlalu, muncul gerakan baru yang bernama aufklarung pada abad ke-18. Nama tersebut duberikan karena manusia mencari cahaya baru dalam rasionya pada zaman ini. Di zaman ini, manusia mulai menggunakan rasionya untuk mencari sebuah pebcerahan bagi pemikirannya, yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai zaman dimana manusia keluar dari keadaan tidak akil balig menjadi seorang manusia dewasa. Pemikiran yang berkembang pada zaman ini berpusat Inggris karena suasana politik yang mengizinkan. Salah satu gejala Aufklarung di Inggris adalah pemikiran yang dikenal dengan nama Deisme[8].

Deisme ini muncul di Inggris dengan mudah karena waktu penjelasan mekanistis tentang dunia sangat dipuja-puja. Anggapan yang timbul bahwa dunia seluruhnya diciptakan menurut hukum-hukum mekanistis yang ketat, namun sesudah diciptakan mesih-dunia berjalan dengan sendirinya. Dengan itu mereka mengingkari segala hal yang adikodrati, seperti mukjizat dan wahyu. Isi ajaran Kristianisme bersifat kodrati melulu, akibatnya kristianisme merupakan suatu agama irasional yang tidak membawa sesuatu pun yang baru. Buku-buku yang terbit pada zaman ini di Inggris sangat menggambarkan suasana pemikiran yang ada. John Toland mengarang buku yang berjudul Cristianity not Mysterious (1696) Matthews Tindal menerbitkan Cristianity as Old as Creation (1730)[9].

Selain perkembangan yang pesat dalam bidang pemikiran, bidang teknologi eropa juga ikut mengalami perkembangan yang signifikan. Dalam beberapa kasus bahkan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan mmpunyai peran yang signifikan dalam menghancurkan domonasi dogma-dogma gereja. Hasil kerja Copernicus, Galileo Galilei yang membuktikan bahwa bumi itu bulat dan bukanlah pusat dari alam semesta membuat gereja kehilangan kekuasaan atas ilmu pengetahuan. Penemuan hukum gravitasi oleh Isaac Newton yang membuktikan bahwa alam semesta digerakkan oleh hukum alam menjadi dasar dari berkembangnya pemikiran Deisme. Penemuan Newton tersebut menjelaskan bahwa tuhan menciptakan alam semesta, menggerkkannya dengan hukum alam dan pension dari pekerjaannya untuk melihat bagaimana manusia hidup. Karena penemuan ini pula kepercayaan terhadap keajaiban dan teks-teks suci mngenai alam sedikit demi sedikit mulai luntur. Dengan begitu, dalam abad rasionalitas inilah pemikiran Deisme lahir.

C. Deisme Dewasa Ini

Dalam perjalanannya menuju abad ke-21. Deisme telah banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran modern yang membentuk dunia kita seperti sekarang ini. Sebagai contoh, tanpa Deisme, Sekularisme di Amerika tidak akan muncul. Bahkan beberapa sumber mengatakan bahwa, Declaration of Indepence sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran Deisme ini. Hal itu terjadi disebabkan adanya kemungkinan bahwa beberapa founding fathers Amerika adalah seorang Deist. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat sebagian besar orang Amerika adalah keturunan Inggris yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Deisme ketika itu[10].

Walaupun istilah Deisme ini tidak banyak dikenal orang - yang disebabkan oleh tidak adanya komunitas besar yang menaungi perkembangan kepercayaan ini[11] – namun tanpa disadari pemikiran dasar dari kepercayaan ini yaitu kepercayaan berbasis akal sangatlah populer dan dianut di abad-21 ini yang dapat dikatakan sudah memasuki zaman post-modern. Banyak orang yang walaupun mempunyai satu agama resmi dia tetap meragukan ajaran dari agama tersebut dan tanpa disadari dia sudah mulai menjadi agnostik dan beberapa menjadi atheist serta deist jika mau mencoba untuk memikirkannya.

Hal ini mungkin terjadi karena perkembangan kehidupan beragama yang sudah mulai kehilangan arah dan cita-cita awalnya. Ketika seseorang terombang-ambing di antara satu kepercayaan dengan kepercayaan lainnya maka yang akan terjadi adalah kebingungan yang mengarah pada pengrusakan diri ataupun alienasi diri. Sebagai contoh seseorang yang beragama islam namun tidak sanggup menunaikan ajaran agamanya dan termakan oleh pengaruh globalisasi namun tidak mengerti bagaimana mengendalikannya karena sepanjang hidupnya dia tidak pernah mengendalikan dirinya maka dia akan menjadi korban dari dilema pemikiran ini. Orang itu tanpa sadar akan terus menunaikan ajaran agamanya dan bersikap seolah-olah dia takut kepada tuhan namun pengaruh globalisasi dan budaya terus menerus menjauhkannya dari apa yang dipercayainya sebagai tuhan dan secara otomatis, dia telah teralienasi dari dirinya sendiri.

Kehidupan beragama dewasa ini juga mempengaruhi ketidaksadaran spiritual ini. Bentuk terorisme ataupun premanisme yang terjadi dengan membawa nama satu agama membentuk suatu opini publik secara tidak sadar akan kekecewaan terhadap agamanya. Karena itu, secara tidak sadar pula individu-individu beragama ini sedikit demi sedikit meninggalkan identitasnya sebagai makhluk yang beragama dan terombang-ambing diantara kebimbangan tidak tahu mana yang benar mana yang salah dan mana yang harus diikuti dan tidak tahu harus berbuat apa karena sudah terbiasa oleh dogma-dogma yang menyejukkan dari agamanya.

Dengan begitu, Deisme dewasa ini tetap berkembang sebagai kepercayaan personal yang tidak memerlukan suatu komunitas untuk menaungi perkembangannya dan membuat suatu peraturan baku mengenai agama. Bahkan tanpa disadari pemikiran ini sudah masuk dalam banyak aspek kehidupan manusia modern walaupun penolakan yang terjadi akibat kebingungan membuat Deisme masih terlihat seperti ajaran sesat bagi beberapa agama.


Daftar Pustaka

Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta:Penerbit Kanisius,1975.

Gaarder, Jostein. Dunia Sophie. Bandung:Penerbit Mizan,1996.

Wikipedia, Deism. http://en.wikipedia.org/wiki/Deism, 23 Mei 2007 Pukul 19.00 – 22.00

Hardwick, J. Deism Defined. http://moderndeism.com/html/deism_defined.html, 23 Mei 2007, Pukul 20.15

World Union of Deist. Deism. http://www.deism.com, 23 Mei 2007, Pukul 19.03


[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Deism Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 18.23

[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Deism#Features_of_Deism Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 18.35

[3] http://www.deism.com/deism_defined.htm Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 19.03

[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Deism#Opinions_about_prayer Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 19.43

[5] http://moderndeism.com/html/deism_defined.html Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 20.15

[6] http://en.wikipedia.org/wiki/Deism#Critical_and_constructive_Deism Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 21.54

[7] http://en.wikipedia.org/wiki/Deism#The_history_of_Deism Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 21.24

[8] Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. (Yogyakarta, Penerbit Kanisius:1975) Hal. 53

[9] Ibid, Hal. 54

[10] http://en.wikipedia.org/wiki/Deism#Deism_in_America Diakses pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2007 Pukul 19.17

[11] Pada tahun 1993, seorang bernama Robert. L. Johnson mendirikan satu perkumpulan deist yang bernama World Union of Deist yang berperan sebagai penghubung semua deist yang ada di dunia. Perkumpulan ini mempunyai semoboyan ”god gave us reason, not religion” yang berarti “tuhan memberikan kita akal, bukan agama”

5 comments:

Anonymous said...

Kebanyakan Deist sebenarnya malah tidak mengetahui terlebih dahulu adanya

istilah 'Deist' ataupun 'Deisme' itu sendiri. Hal ini sangat wajar mengingat

Deisme merupakan suatu pencapaian akal dan logika dari seseorang mengenai

mekanisme jalannya roda kehidupan di dunia ini. Seorang Deist biasanya damai

dengan pijakan logikanya mengenai hal tersebut, dan secara otomatis tidak

terlalu memikirkan apakah keyakinannya itu punya nama / istilah formal atau

tidak, kebanyakan Deist mencapai pemahaman Deisme dari pemikiran diri sendiri

dan bukan karena diberitahu bahwa ada sesuatu paham bernama Deisme itu sendiri,

walaupun seiring dengan merambahnya informasi mengenai Deisme dewasa ini,

bukannya tidak mungkin banyak orang yang mulai mengetahui dan terinspirasi

mengenai pemahaman dari Deisme.

Deist juga tidak mempersoalkan pilihan-pilihan orang lain, selama pilihan

tersebut tidak bertentangan dengan 'hukum alam' atau mengganggu orang lain, oleh

karenanya seorang Deist memegang kontrol dirinya sendiri di tengah kehidupan

sosial dan masyarakat.

Salah satu yang seorang Deist pahami adalah bahwa Tuhan memang tidak ikut campur

tangan dalam jalannya kehidupan di dunia ini, semua sejak penciptaan sudah

diperhitungkan secara ketat dan maha detail sehingga Ia dapat melepas alam ini

berjalan dengan hukum-hukum sebab akibat dengan Ia sebagai sebab pertama. Dari

dasar pemahaman di sini, para Deist akan menetapkan tujuan hidupnya

masing-masing dengan pemahaman yang lebih spesifik untuk menjalani kehidupannya.

Dengan tidak adanya campur tangan Tuhan, berarti Deist menolak adanya takdir dan

efek doa secara langsung dari Tuhan. Sebagian Deist tetap berdoa, namun lebih ke

arah meditasi untuk efektifitas kehidupan mereka sendiri, tidak ada pengharapan

apapun akan efek doa ini. Deist memegang prinsip teguh bahwa segala sesuatu di

dunia ini adalah permainan sebab dan akibat, dan oleh karenanya tidak berlaku

takdir, yang ada hanyalah kejadian itu sendiri yang disebabkan sesuatu alasan.

Keberuntungan dan kesialan juga kerap menjadi penjelasan terhadap hal-hal yang

biasa dianggap sebagai keajaiban dan cobaan dari Tuhan.

Deist tidak berharap apapun dari Tuhannya, dan beriringan dengan itu, Deist juga

tidak akan menyalahkan Tuhannya untuk sebab apapun. manusia bertanggung jawab

terhadap apapun yang ia lakukan, dan harus mencari solusi untuk setiap

permasalahannya, sekilas memang terlihat kesepian, untuk hidup yang memang

banyak sekali rintangan, kita terkesan sendiri dan tak ada Tuhan yang membantu

kita, tapi dengan begitu, seorang Deist akan hidup secara utuh, dan bertanggung

jawab penuh akan kehidupannya. Logika dan pengalaman-pengalamannya yang akan

menuntunnya bermasyarakat, dan dengan begitu mengontrol dirinya sendiri.

Anonymous said...

Yes indeed, in some moments I can bruit about that I agree with you, but you may be in the light of other options.
to the article there is still a suspect as you did in the go over like a lead balloon a fall in love with publication of this solicitation www.google.com/ie?as_q=microsoft windows vista ultimate 32-bit ?
I noticed the axiom you procure not used. Or you functioning the dark methods of helping of the resource. I possess a week and do necheg

abimanyudmar said...

Dan deis juga tidak percaya akan kehidupan setelah akhirat

Anonymous said...

Hey , orang juga punya kepercayaan masing-masing , entah punya agama atau kagak , lo gk punya agama juga punya kepercayaan , lebih baik punya kepercayaan dan tidak memiliki agama , daripada memiliki agama tetapi tidak memiliki kepercayaan pada apapun...... Tapi , artikelnya bagus (Sejarah = 5 out of 5)

Unknown said...

good article! jadi lebih ngerti tentang deisme. Bahasnaya jg gampang dicerna. Thank you!